23 August 2011

Cinta yang Tak Rumit

Apa yang menyebabkan kita menyapa atau tidak menyapa, saat bertemu
seseorang? Kebanyakan kita menyapa karena kita mengenal atau minimal
mengetahui seseorang itu. Bisa juga karena kita menyukai atau
menghormati orang tersebut, karena memang kebiasaan, atau punya
keperluan. Mungkin juga sekadar basa basi. Apa pun itu, saya belajar
banyak soal ini dari seorang anak kecil yang berbeda umur 26 tahun dari
saya.

Setiap hari saat berjalan kaki menuju sekolahnya yang tak begitu jauh
dari rumah, Faiz akan melewati deretan panjang rumah yang ada di sekitar
kami. Empat tahun yang lalu, ketika Faiz masih TK, saya takjub
menyaksikan bagaimana cara ia menyapa! Semua tetangga yang kebetulan
dilewati atau ditemuinya di jalan, tak akan luput dari teguran ramah
disertai senyum lebar Faiz.
"Selamat pagi, Pak, selamat pagi, Bu...."
"Assalaamu'alaikum...."
"Mari Oma, mari Opa..."
"Dari mana, Tante?"
"Wah hari ini Kakak berseri sekali!"
"Mau kuliah, Bang?"
"Eh, ketemu adik cakep. Mau kemana pagi-pagi sudah rapi?"
Dan seterusnya....

Saat ia duduk di kelas II SD, saya pernah bertanya pada Faiz," Mas Faiz,
apa kamu tak lelah menyapa begitu banyak orang setiap pagi?"
Faiz tertawa. "Tidaklah, Bunda. Aku senang karena senyum dan sapaku
mungkin bukan mengawali pagiku saja. Tapi mengawali pagi orang lain.
Lagipula senyum itu kan sedekah, Bunda."
Saya nyengir. Pernyataan yang unik dari anak yang waktu itu belum
berumur delapan tahun. "Subhanallah. Kalau dihitung dengan uang,
sedekahmu mungkin sudah milyaran," ujar saya sambil mencium pipi Faiz
yang memerah.

Setiap kali hadir pada arisan yang diadakan ibu-ibu sekitar rumah,
mereka kerap membicarakan Faiz.
"Waduh, Faiz itu ramah sekali ya, Bu. Kalau bertemu saya selalu menegur
lebih dulu, senyumnya manis sekali."
"Kok bisa seperti itu sih, Bu? Bagaimana mendidiknya?"
Saya tersenyum. Bagaimana mengatakannya? Sesungguhnya saya tak pernah
mendidik Faiz secara khusus untuk menyapa dan tersenyum. Sayalah yang
banyak belajar dari Faiz!
Terbayang lagi berbagai peristiwa yang terjadi sejak Faiz mulai duduk di
bangku SD.

Ketika ia ada di teras rumah, semua pengemis yang lewat selalu
dipanggilnya, diajak makan dan minum. "Hari ini di rumah masak sop dan
perkedel." Atau "Bapak mau bawa kopi untuk di jalan biar tidak
mengantuk? Mau teh manis dingin?" Ia akan berlari ke kamar, mengambil
celengan dan mengeluarkan lembaran kertas dari sana untuk diberikan pada
mereka.

Belum lagi, semua tukang jualan, tukang sol sepatu, yang lewat pun
disuruh mampir. Ada saja yang ditawarkannya. "Istirahat dulu di sini,
Pak. Kan capek. Hari panas sekali. Sini, makan kue dan minum dulu. Atau
mau makan nasi?" Selain itu ia pun akan bisik-bisik pada anggota
keluarga lainnya untuk membeli sesuatu dari tukang jualan itu, meski
kami tak terlalu membutuhkannya. "Apa salahnya sih menolong orang?"
ujarnya.

Maka di rumah mungil yang kami tempati, tak pernah ada hari di mana kami
memasak sekadar pas untuk keluarga. Selalu ada tamu-tamu istimewa yang
entah siapa. Faiz mengundang mereka secara tak terduga.
"Ikhlas yaaa, Bunda...," katanya sambil tersenyum manis.
Lalu apakah ada lagi yang bisa saya ucapkan, meski dengan terbata? Saya
hanya mampu memeluk Faiz kuat-kuat.

Terima kasih kepada siapapun yang telah membuat artikel ini

0 comments:

Post a Comment

Template by : kendhin x-template.blogspot.com